News

WAWANCARA DENGAN IWAN HASAN

Iwan Hasan adalah salah satu dari musisi Indonesia yang mempunyai idealisme tersendiri, dengan kelompoknya Discus yang juga beranggotakan Anto Parboe, Eko Partitur, Fadhil Indra, Hayunaji, Kiki Caloh, Krisna Prameswara dan Nonnie mengusung musik yang bisa dikategorikan ke dalam musik Progressive Rock dan banyak melakukan eksplorasi musikal pada musiknya. Musisi yang juga menguasai permainan Harpa Gitar ini dengan kelompoknya Discus justru bersinar di mancanegara daripada di negerinya sendiri Indonesia, bahkan pada awalnya Discus sempat tidak diterima disini baik oleh sebagaian masyarakat maupun industri musik.

WartaJazz (WJ) : Bagaimana ide awal atau latar belakang terbentuknya Discus ?

Iwan Hasan (IH) : Saya ingin membentuk sebuah grup musik beraliran Progressive rock, tadinya sih nggak berpikir ke Progressive rock, tapi akhirnya kami dimasukkan ke situ oleh “market”,. Saya dari kecil punya basic musik klasik kemudian pada waktu masih remaja suka main band yang main musik rock. Kemudia saya studi musik waktu itu di Willamette University (Oregon, Amerika -red) , nah disitu saya belajar musik klasik dan jazz juga komposisi kontemporer, setelah itu saya punya keinginan untuk membentuk grup. Latar belakang saya kan menjadi macam-macam dan campur-campur, ya di klasik, rock, jazz juga musik kontemporer, lama-lama saya berpikir ini kok asiknya sama, dengan mencoba bikin suatu yang sifatnya penggabungan terus saya kumpulkan teman-teman, pertama saya dengan Fadhil (Fadhil Indra, keyboard -red) kami bikin band dan ketemu teman-teman yang latar belakangnya beda-beda bahkan ada yang bertolak belakang lalu jadilah Discus, kemudian kita waktu itu bikin lagu dan belum ada label (perusahaan rekaman -red) dari Indonesia yang tertarik dan susah sekali, kita coba tawarkan ke luar negeri, ternyata oleh perusahaan Italia yang bernama Mellow Records dirilis, kemudian setelah dirilis oleh Mellow Records baru di rilis di Indonesia dalam bentuk kaset (Chico&Ira Production -red), jadi dirilisnya di Italia duluan dan label itu adalah label untuk musik-musik Progressive rock , jadi saya pikir kita oleh pasar dikelaskan ke dalam Progressive rock, kenyataannya juga begitu dirilis di Italia dan dipasarkan sampai Amerika , di Amerika terus kita diundang untuk ikut festival pada festival musik Progressive rock , jadi rasanya kita bisa disebut band Progressive rock.

WJ : Padahal mungkin maksudnya tidak ke arah situ, tapi karena mengabungkan beberapa jenis musik, rock, jazz, ethnic ..

IH : Sebetulnya Progressive rock ya seperti itu, jadi Progressive rock definisinya sangat luas, yang penting ada elemen rock dan elemen yang lain-lain, jadi kita pertama tidak bermaksud menjadi band Progressive rock tapi juga tidak bermaksud untuk tidak menjadi band Progressive rock, kita tahu Progressive rock tapi pokoknya pikiran kita waktu itu, kita campur-campurin saja dan akhirnya terserah orang dan pendengar saja menilainya, tapi kenyataannya yang menerima kita pangsa Progressive rock dan memang Progressive rock itu definisinya begitu, pokoknya ada musik rock digabung (biasanya) dengan musik klasik atau jazz kebetulan kita juga ada elemen etnik tradisional dan kontemporer, jadi ya rasanya benar juga kita dimasukkan ke dalam Progressive rock.

WJ : Lalu ada komposisi di “Gitar Klinik” yang berjudul “Transcultural Echoes on 33 Strings”, nah itu ada yang menyebut sebagai “Ethnoprogressive Contemporary Jazz Metal”, bagaimana mengenai ini ?

IH : Sama saja saya kira, sebetulnya kan kata kuncinya Progressive , jadi Progressive itu sudah bisa mencampur semuanya , kita juga Progressive rock yang mengandung jazz, karena Progressive rock bisa dibilang semacam dialektika dari berbagai macam style yang kemudian bertemu, makanya band Progressive satu dengan yang lain bisa sangat berbeda sekali , jadi pokoknya basicnya Progressive rock pasti merupakan sebuah campuran dia tidak hanya merupakan rock dan jazz, dia bisa campuran rock dan avant garde, kita juga ada elemen itu. Seperti Gentle Giant (grup musik Progressive rock -red) itu elemen-eleman avant garde nya memakai suara-suara kaca pecah (lagu In A Glass House -red) segala macam, dia juga jazznya sangat kuat juga da pengaruh musik jaman Renaissance , mungkin rocknya sendiri bisa-bisa tinggal dua puluh persen.

WJ : Sekarang juga ada istilah Rock In Opposition (RIO), yang juga banyak menggabungkan rock, avant garde, free jazz dan mungkin sudah susah dikategorikan apa ?

IH : RIO itu salah satu sub genre dari Progressive rock , yang menyebut istilah itu yang pertama adalah Chris Cutler dari grup Henry Cow , ya itu salah satu dari sekian puluh jenis Progressive rock.

WJ : Mungkin ini susahnya, karena sesuatu itu harus ada sebutan atau klasifikasinya !

IH : Sebetulnya begini, bukan harus ada begitu, yang memberi klasifikasi ini rata-rata adalah masyarakat artinya pendengar atau pengamat, tapi sebetulnya tugas seorang musisi bikin saja apa yang dia mau, diklasifikasikan apa ya tergantung pendengar saja

WJ : Jadi mungkin misalnya seperti musik Discus ini, mungkin ada yang menganggap ini bisa dimasukkan ke jenis jazz, tapi ada juga yang menganggap bukan jazz !

IH : Ya betul, jadi sebetulnya kalau dibilang jazz, nggak salah juga, karena kadang-kadang kita berat ke jazz, kadang-kadang ke rock , tapi ada juga chamber music yang cuma bermain bertiga, harp guitar acoustic, bass clarinet dan violin (lagu Condissonance -red), itu bisa dibilang klasik modern, jazz nggak, rock juga nggak.

WJ : Ada juga yang semacam electro acoustic seperti pada Violin Metaphysics.

IH : Ya betul.

WJ : Bisa diceritakan bagaimana penerimaan masyarakat di sana (Amerika) terhadap musik Discus pada Festival ProgDay 2000 ?

IH : jadi pada tanggal 6 Oktober 2000 kita tampil di San Francisco, tanggal 9 Oktober kita tampil di North Carolina pada ProgDay 2000, kemudian besoknya kita tampil di Knitting Factory, New York. Sambutannya sangat baik, karena disitu memang audience nya, audience Progressive, karena memang organizernya adalah organizer untuk musik Progressive, sambutannya baik sekali dan yang mengejutkan setelah saya pulang ke Jakarta, ada suatu news group Progressive rock di Amerika yang namanya Rec News Progressive, disitu ada jajak pendapat kepada para penonton ProgDay 2000, sebetulnya festival ini bukan pertandingan tapi penontonnya iseng-iseng bikin pooling, ternyata disini Discus mendapat grup kedua terbaik dari semua grup yang tampil di ProgDay 2000, yang pertama adalah grup dari Finlandia.

WJ : Apakah Mellow Record masih akan merekam album Discus ?

IH : Mereka sih masih mau..

WJ : Kemudian apa Discus sudah mempersiapkan album berikutnya ?

IH : Ya, kita baru nulis-nulis lagu dan belum mulai rekaman, tapi ada satu lagu kita yang sudah matang karena kita bawakan mulsi dari Amerika , lalu beberapa main disini kita bawakan juga, lagu yang durasinya sekitar dua puluh satu menit , terdiri dari tujuh bagian , lagu ini selama kita di Amerika termasuk yang sangat disukai oleh audience disana, kita waktu itu jual CD juga dan langsung habis, sold out bahkan masih banyak yang mencari, lalu mereka tanya lagu yang baru ini kapan keluarnya.

WJ : Dengar-dengar ada tawaran dari label lain juga untuk merekam Discus ?

IH : Ada, pada waktu itu di Amerika kita di approach, ya kita lihat-lihat lah mana yang terbaik, sebetulnya saya jadi tertarik, apakah kita rilis sendiri di Indonesia terus diekspor, tapi nggak tahu lah itu nanti kita pikirkan lagi.

WJ : Menurut anda bagaimana publik Indonesia sendiri dengan Discus ini ?

IH : Tahun 1999, dua bulan setelah dirilis di Italy kemudian baru dirilis di Indonesia dalam bentuk kaset, tadinya mau kaset dan CD ternyata hanya kaset saja, nggak tahu atas pertimbangan apa CD nya nggak dikeluarkan, dicetak sekitar seribu kaset, tapi karena low budget, kita promonya agak kurang, walaupun ada promo di radio-radio tapi tanggapan kecil sekali. Mendadak setelah kita ke ProgDay 2000 kemarin timbul berita di News music, kompas dan sebagainya, nah baru disitu tiba-tiba entah bagaimana orang banyak yang cari, toko-toko kaset bilang wah sekarang banyak yang mencari album Discus. Tapi ya karena sudah terlanjur di cetak hanya seribu dan sudah di lempar ke toko semua, ya sudah habis.

WJ : Masih aktif di musik kontemporer nggak ?

IH : Sudah agak lama nggak, tapi akan ke situ lagi. Ya kebetulan saja Discus kemarin sepertinya menjadi intensif, karena sambutan kita di luar negeri bagus, jadi konsentrasi saya sementara ke situ dan kitya jadi semangat-semangatnya bikin album kedua. Berkautan dengan tanggapan di Indonesia, Discus ini kan didirikan pada tahun 1996 kita pergi ke Amerika untuk konser pada 6 Oktober 2000, itu kan sudah empat tahun, percaya atau nggak pertunjukan di San Francisco itu adalah pertunjukkan Discus yang keenam , jadi selama empat tahun, di Indonesia total cuma lima kali manggung , sampai orang Amerika juga Tanya, “di negaramu sambutan bagus nggak?” ya kita bilang saja “di Mellow Park, California ini adalah penampilan kita yang keenam dari tahun 1996 dan di Prog day adalah yang ketujuh”, dia langsung kaget, dan dia bilang “wah kok kamu mau-maunya”. Tapi untungnya di grup kita orang-orangnya, professional musician atau semi professional, jadi memang musisi, walaupun Discus jarang main kita pasti semingu sekali latihan, ada atau nggak ada acara, jadi selama empat tahun itu nggak pernah berhenti, dan karena sebagian dari mereka musisi yang mencari uang lewat musik, jadi nggak pernah meninggalkan instrument, jadi walaupun jarang naik panggung, tapi permainan kita nggak kacau, ya syukurlahlah selama ini yang terjadi begitu.

WJ : Jadi ada dari masing-masing anggota untuk terus di Discus dan mengembangkan musiknya ?

IH : Setidak-tidaknya sampai saat ini begitu .

WJ : Tentang nuansa Indonesia yang anda masukkan ke dalam musik anda, samapi dimana kekuatannya, maksudnya apakah ini sekedar semacam tempelan saja atau katakanlah menjadi “ruh” dari musik itu bahwa Discus dari Indonesia ?

IH : Itu jelas dari “ruh” ya, tapi , saya rasa begini, disatu pihak kita melakukan itu tapi di lain pihak kita nggak mengharuskan semua lagu kita ada nuansa itu, karena kita juga tidak merasa sebagai grup world music atau kita tidak mengklaim harus ada elemen seperti itu (etnik Indonesia -red), cuma kenyataan menunjukkan bahwa ternyata justru elemen itu yang membuat nilai lebih dan dianggap punya ciri yang berbeda dengan mereka, ini ada suasana Asia atau Indonesia, Progressive kan asalnya dari Inggris dan berkembang ke Eropa dan Amerika, tapi secara maistreamnya bukan elemen Asia, nah ternyata tiba-tiba ada elemaen Asia yang masuk, Bali, Sunda, Jawa dan sedikit Timur Tengah, ya ini jadi menarik buat mereka.

WJ : Jadi itu memang tuntutan dari komposisinya itu sendiri ?

IH : Ya dan memang kita hidup di Indonesia, kita tidak bisa terlepas untuk mendengar musik tradisional dari waktu kita kecil, jadi rasanya sah-sah saja kalau begitu, namanya musik sih ya, jadi kalau menulis komposisi itu, apa yang tiba-tiba saya rasakan dan ada dalam pikiran saya masukkan, kalau itu tradisional dan saya merasa komposisi ini bagus dilarikan kesitu ya saya masukkan saja, kalau pas nggak merasa kesitu ya nggak akan kita buat begitu, kita akan memasukkan itu (unsur tradisional -red) kalau kita merasa terinspirasikan kesitu, kalau nggak ya kita nggak masukkan.

WJ : Lalu mengenai beberapa lagu yang berbentuk semacam “suita” yang terdiri dari beberapa bagian, apa ini juga tuntutan dari ide tadi ?

IH : Wah ini sangat susah dibilang, karena pada saat kita menulis lagu, kadang-kadang apapun bisa terjadi yang kita nggak rencanakan sebelumnya. Kalau komposisi panjang, sebetulnya bisa jadi sesuatu itu memang diniati untuk dibikin panjang, tapi kadang-kadang juga bisa jadi sesuatu lagu yang dalam proses penciptaannya bisa jadi panjang sendiri, entah bagaimana kalau kita bikin komposisi musik kadang-kadang kalau kita jujur pada perasaan kita , kadang-kadang terasa sendiri apakah komposisi ini harus berhenti disini, sudah saatnya berhenti ataukah harus lanjut. Jadi kalau komposisi yang seharusnya panjang dipendek-pendekan atau sebaliknya komposisi yang seharusnya pendek dipanjang-panjangkan akan jadi nggak karuan. Jadi gimana ya, susah untuk menjelaskannya..

WJ : Mungkin itu suatu proses yang mengalir dan tidak bisa dijelaskan secara definitive !

IH : Ya, tapi mungkin ada yang bisa menjelaskan, tapi terus terang saya nggak bisa.

WJ : Mengenai alat musik Harpa Gitar (Guitar Harp) yang sepertinya menjadi spesialis Bung Iwan, bagaimana ceritanya ?

IH: Kalau dibilang spesialis, nggak juga, maksudnya karena kebetulan saja jarang yang main. Kenapa saya nggak mengaku sebagai spesialis sebabnya begini, waktu saya di Amerika studi dengan orang yang namanya John Doan. Dia professor gitar klasik, tapi dia juga punya karir di musik dan dia main alat itu (guitar harp) yang dia desain sendiri, nah kalau dia itu diluar karirnya sebagai professor gitar klasik dia sudah banyak rekaman di label Narada dan Windham Hill dan dalam albumnya khusus memainkan alat itu sendirian dan kalaupun ada sound-sound lain seperti biola, flute atau bahkan paduan suara untuk beberapa lagu, tapi itu hanya menjadi semacam background saja, utamanya tetap komposisi-komposisi untuk harp guitar ini, kalau dia sudah hidup matinya disitu, di album-albumnya dia hanya memainkan alat itu, nah kalu saya kan tidak seperti itu, saya masih main alat yang lain dan itu hanyalah salah satu dari alat yang saya mainkan.

WJ : Kebetulan jarang yang memakai, jadi mungkin trade mark alat ini disini melekat pada Bung Iwan ?

IH : Ya memang itu unik sih, artinya yang mendesain guru saya itu John Doan, dan memiliki hanya tiga orang, dia, saya dan ada satu orang lagi di Amerika juga, karena memang itu dia yang mendesain, ada desain-desain gitar denga snar banyak yang dipakai juga oleh Pat Metheny, Michael Hodges, tapi kan lain dengan disainnya ini, sepanjang yang saya tahu disatu album mereka juga memakai alat lain, dan yang dalam semua albumnya hanya memakai alat itu adalah John Doan. Jadi saya katakan tadi mengapa saya tidak mengklaim sebagai spesialis , kalau saya spesialis alat itu berarti saya sudah sanggup seperti guru saya itu, bisa satu album isinya permainan alat itu semua, rasanya dalam hal ini saya belum sampai kesitu. Tapi siapa tahu besok-besok saya bisa mencoba melakukan hal itu.

WJ : Bagaimana menurut Bung Iwan kondisi dunia musik di Indonesia pada saat sekarang ini ?

IH : Mau nggak mau saya harus mengatakan sangat disesalkan, mengapa format musik di Indonesia, format yang jalan di industrinya kok seperti foto copy dari lagu-lagu pop yang ngetop di Amerika, tangga lagu-lagu asingnya saja isinya kurang lebih sama dengan yang di Amerika, kalu lagu yang dari Indonesia stylenya bisa dibilang persis mengikuti trend apa yang baru terjadi disana juga, jadi seperti foto copynya MTV begitu. Kadang-kadang memprihatinkan juga, ini maunya kemana sih sebetulnya, artinya bentuk-bentuk musik katakanlah tradisi hilang dan kurang didukung oleh industrinya yang mainstream. Tidak usah itulah, musik-musik yang lain diluar yang seperti itu (pop “MTV” -red) juga sulit untuk hidup, sekarang contohnya begini, waktu itu saya pernah hadir di diskusi yang diadakan suatu majalah musik, saya waktu itu bersama Donny Suhendra dan Gilang Ramadhan, kita bicara disitu dan saya ditanya kenapa Discus ini kok luar negeri minded sekali, janganlah lupakan negara kita sendiri (untuk rekaman dan pementasan -red), saya bilang suh kita ingin sekali bisa diterima disini tapi bagaimana, dulu kita datang ke label disini dan ditolak melulu, dibilang musiknya susah dijual dan ternyata di luar negeri disambut, terus ini yang salah siapa ? Kita kan nggak memilih begitu, tapi nasib menentukan demikian terus bagaiman, apa mesti kita tolak, ya nggak dong. Masa bisa ada satu perusahaan di Italy yang ternyata menampung kami dan kita kemarin diundang di festival di Amerika dan bisa dikatakan disambut dengan baik, sementara kita disini mau menyelenggarakan pementasan buat kita saja susahnya setengah mati, jadi kenapa begitu, bukan karena kita yang menginginkan begitu, cuma pada waktu itu kita belum diterima disini. Sebetulnya di luar juga yang dominan tetap musik pop, tapi yang diluarnya itu bisa tergarap cukup baik walaupun tidak pernah mencapai skala sebesar musik pop, musik-musik yang segmented terbukti tergarap juga, disini menyesalnya kan tidak atau kurang tergarap. Mudah-mudahan dan saya berharap ada gejala-gejala positif yang saya lihat, seperti contohnya acara ini di radio yang mencoba setidak-tidaknya untuk menyadarkan publik disini bahwa ada bentuk-bentuk alternatif terhadap musik mainstream pop tadi. Saya sama sekali bukannya mau menganggap musik pop itu jelek, ada beberapa lagu pop yang saya suka dan Discus tidak bisa dibilang anti pop , ada elemen pop juga disitu, tapi kenapa musik harus selalu “fast food”, maksudnya dalam format yang hanya sekian menit dan sudah baku seperti itu, kenapa nggak bisa yang lain, kalau lagu panjang misalnya duapuluh menit, memangnya kenapa. Kalau lagu yang temanya perlu pemikiran kenapa nggak bisa dimuat disitu atau nggak bisa diterima, ini kan sangat disesalkan kalau saya pikir.

WJ : Mungkin ini “PR” buat kita semua untuk meningkatkan lagi apresiasi masyarakat dan semua yang berkaitan dan terlibat dalam musik ?

IH : Ya. tapi memang ditengah suasana yang tidak kondusif ini, sebenarnya saya yakin musisi-musisi yang Progressive atau yang jazz atau yang diluar pop format pasti banyak, tapi akhirnya mayoritas dari mereka itu layu sebelum berkembang karena nggak ada yang menampung. Kita (Discus -red) ini mungkin bisa dibilang berani mati dalam suasana seperti ini seperti kata orang Amerika tadi, “kok mau-maunya kamu begini”, ya tidak tahu mungkin kebetulan saja. Tapi situasi ini secara umum sangat discouraging artinya tidak memberi semangat, mungkin ada anak-anak muda yang sebetulnya berpotensi, Cuma akhirnya mereka menterah pada situasi. Saya sendiri pernah frustasi, setelah pulang dari Amerika, sekitar dua tahun nggak main musik karena melihat kondisi begitu, tapi ada hal-hal tertentu yang membuat saya mencoba lagi dan ternyata kali ini agak lumayan ada hasilnya walaupun dengan susah payah, bayangkan empat tahun dengan hanya lima kali tampil di panggung, maunya sih ingin tampil terus tapi nggak ada yang bisa atau mau menampung kita, mungkin pada takut acaranya bubar kalau kita main.

WJ : Bagaimana ceritanya sampai di undang ke Baja Prog Festival ?

IH : Saya rasa ini adalah karena sukses kami di ProgDay 2000, yang ternyata cukup bergaung di kalangan pecinta peogressive rock.

WJ : Selain Discus band apa saja yang tampil disana ?

IH : Le Orme (Italia), Ankh (Polandia), Azugza (USA), Aria (Mexico), Cast (Mexico), Eclat (Perancis), Exsimio (Chili), Finnisterre (Italia), Landmarq (Inggris), Omni (Spanyol), Bital Dua (Perancis), Priam (Perancis), Solaris (Hongaria), Subterra (Chili), Sylvan (Jerman), Vital Duo (Perancis). Dua buah band yang semula akan tampil tetapi batal adalah Happy The Man (USA) dan Iona (Inggris). Iona gagal tampil karena vokalisnya sakit, sedangkan Happy The Man saya tidak tahu apa sebabnya.

WJ : Bagiamana bisa bertemu dengan I Gusti Kompiang Raka dan berkolaborasi, apakah sudah direncanakan dari semula ?

IH : Saya sudah pernah bermain bersama Pak Kompiang dalam musik kontemporer. Kami bersama pernah mendukung konser musik Ibu Tri Sutji Kamal pada awal 90-an. Kemudian pada Pekan Komponis IX (1998) saya dan Pak Kompiang adalah dua komponis kontemporer yang tampil pada Pekan Komponis tsb. Oleh karena itu kami sudah cukup lama saling kenal.

WJ : Bisa ceritakan sambutan yang didapat disana berkaitan dengan pementasan Discus ?

IH : Sangat luar biasa! Ternyata masyarakat disana memang telah menanti2kan kami, karena sebelumnya musik kami telah dipromosikan oleh stasiun radio disana dalam mengantisipasi event Baja Prog. Sebelum kami datang, stasiun radio tsb banyak mendapat telpon yang menanyakan apakah Discus jadi datang untuk tampil. Ternyata memang penonton sangat antusias. Paul Whithead, designer album2 Genesis pada era awal 70-an juga hadir dan mengadakan pameran disitu, dan ia memberi semangat pada kami dan berpesan agar kami bertahan terus dan jangan bubar sebab musik kami dianggap unik. Kami sempat diwawancara oleh sebuah stasiun TV disana.

WJ : Mungkin ada pengalaman yang menarik disana, karena musik Discus mungkin cukup unik dengan memasukan musik gamelan pada komposisinya ?

IH : Ya, memang faktor itu menjadi salah satu elemen penarik.

WJ : Lagu-lagu yang dibawakan di Baja Prog apakah ada komposisi-komposisi baru dan apakah Discus datang dengan formasi komplet ?

IH : Ya, tentu komplit. Ditambah Pak Kompiang, kami main 9 orang. Ada 2 komposisi baru: yang pertama berjudul “Anne” dan terdiri dati 7 bagian, total durasi 24 menit. Komposisi ini bercerita mengenai Anne Frank., gadis Yahudi-Belanda yang meninggal di kamp konsentrasi korban Nazi pada usia 15 tahun. Namun demikian kami mempergunakan elemen Bali dan Sunda (antara lain vokal kecak) dalam komposisi ini, sekalipun temanya universal. Prinsip kami, tidak ada salahnya mempergunakan elemen tradisi (Indonesia) untuk mengisahkan suatu tema internasional. Musik adalah universal dan sudah sangat sering pola musik barat (rock, pop, dsb) dipergunakan untuk mengisahkan tema lokal. Mengapa tidak dibalik? Satu lagi komposisi baru berjudul “A Cry of Deities on Forgotten Paradise”, yang kami buat secara kolaboratif dengan Pak Kompiang dan sangat menonjolkan Pak Kompiang. Selain musik tradisional, pada komposisi-komposisi kami pasca album “1st”, terdapat elemen rock yang lebih keras dari sebelumnya, serta elemen klasik dan kontemporer. Terkadang kerasnya elemen rock kami mendekati metal, sementara dari sisi jazz, kami justru mengembil elemen jazz yang lebih “tradisional”, langsung dari “sumber”nya, seperti swing, jazz waltz, samba, sementara kami hanya sedikit sekali berpaling pada jazz fusion. Namun pada akhirnya karena karakternya yang dialektik, dapat pula dianggap menjadi sebuah “fusion”. Itulah musik progressive.

WJ : Baik sekian dulu Bung Iwan, terimakasih atas waktunya lain kali semoga bersedia lagi.

IH : Terima kasih, pasti bersedia.

*) Wawancara ini dilakukan pada saat acara “Jazz Times” di Radio Bikima 99.85 FM Yogyakarta dan juga lewat internet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker