News

SEKILAS DARI KONSER DIALOG JAZZ 3 GENERASI

Pada masa lalu pernah ada agenda rutin penyelenggaraan pertunjukan musik jazz di Taman Ismail Marzuki paling tidak 3 bulan sekali. Para musisi yang tampil pada waktu itu pun tergolong para pioneer musik jazz Indonesia seperti Jack Lesmana, Bubi Chen, Maryono, Benny Likumahua dan masih banyak lagi. Namun kemudian untuk sementara waktu, musik jazz absen atau paling tidak jarang terdengar sebagai program reguler di lingkungan TIM. Baru kemudian setelah keyboardis Krakatau, Dwiki Darmawan, diangkat menjadi salah satu anggota Dewan Kesenian Jakarta dalam komite musik seksi jazz. Hal ini tentunya dapat diharapkan menjadi keuntungan bagi kondisi dan iklim musik jazz di Indonesia umumnya dan Jakarta khususnya.

Sebagai salah satu langkah awalnya adalah penyelenggaraan acara yang bertema Konser Dialog Jazz 3 Generasi pada tanggal 20 September 2003 kemarin. Acara ini menampilkan saxophonis muda Arief Setiadi & Friends dan Farabi Junior All Stars. Dengan bintang tamu trombonis senior Indonesia Benny Likumahua, Jalu D Pratidina (perkusi), Maya Hasan (harpa), Glenn Fredly, Netta & Joel (vokal), Demas (drum) dan Dwiki Darmawan. Terselenggaranya acara ini atas kerja sama antara Dewan Kesenian Jakarta dengan radio Cosmopolitan 90.4 FM dan Wartajazz.com.

Pertunjukan ini diawali dengan penampilan para murid dari Farabi yang terdiri dari Sri Hanuraga (piano), Bani (drum), Indrawan (bass) dan Robert (gitar). Mereka menampilkan beberapa komposisi standard musik jazz seperti ‘On Green Dolphin Street’, ‘Solar’, ‘Day of Wines and Roses’, ‘A Night In Tunisia’, ‘Billie’s Bounce’, ditambah lagi sebuah komposisi yang popular dimainkan oleh Jimi Hendrix ‘House of Rising Sun’ dan sebuah komposisi dari Keith Jarrett ‘Memories of Tommorow’. Dalam beberapa kesempatan seperti di ‘On Green Dolphin Street’ dan beberapa komposisi lainnya gitarisnya mencoba untuk mengambil licks yang khas dari Pat Metheny dengan sentuhan sedikit kasar. Sebenarnya dia mempunyai kemampuan bermain yang baik seperti ditunjukan dalam tembang ballad ‘Day of Wines And Roses’ yang tidak harus mengambil gaya dari gitaris tertentu.

Pianis kelompok ini kiranya yang menjadi pemain yang paling menarik perhatian di antara yang lain. Cukup baik dalam mengartikulasikan setiap nada yang dipencet meskipun dalam tempo yang cepat dan cukup berani dalam mengambil harmoni chords yang menantang. Indrawan bermain bagus meskipun rasa-rasanya dia harus tampil lebih percaya diri lagi, kadang aksennya kurang jelas. Kondisi kurang enak bagi kelompok ini barangkali permainan drum yang masih sering kali terasa keteteran dan kagok dalam merespon pemain lain serta diperparah dengan egonya yang menonjol. Termasuk pada saat trading four.

Secara keseluruhan mereka tampil cukup baik termasuk dalam mempertahankan emosi permainan individu maupun secara kelompok meskipun masih banyak ruang improvisasi yang mereka sia-siakan. Pada masa peralihan sebelum Arief beserta kawan-kawannya hadir di panggung, group yang muncul dari sekolah pendidikan musik bimbingan Dwiki Darmawan ini berjam sessions bersama Arief dalam ‘Memories of Tommorow’ yang enak untuk “nglaras” dan pada lagu be bop ‘Billie’s Bounce’ hadir Benny Likumahua ikut bergabung dengan mereka. Benny bilang setelah main bareng mereka, “Mereka semua ini merupakan generasi penerus musik jazz di Indonesia di masa mendatang”.

Sembari mempersiapkan setting instrumen, Arief yang dibantu oleh Gerry Herb (drum), Imam Praseno (piano & Keyboard) serta seorang musisi muda yang mempunyai peran penting dalam album Arief “Jazzy Sax” dan dalam kesempatan malam itu adalah Bintang Indrianto (elektrik bass & berbagai efek suara, ambients sampling, MIDI elektronik) memainkan tembang secara spontan sebagai tune up yang tidak diberi judul. Improvisasi spontan ini disisipi dengan sebuah tembang yang lazim dipakai untuk mengheningkan cipta dan Bintang banyak menggunakan efek elektronis yang sekarang sedang ngetrend di blantika musik jazz internasional sebagai salah satu upaya dan harapan untuk menggali gradasi bahasa musik jazz supaya lebih inovatif dan kaya. Arief pun kali ini bermain EWI (Electric Wind Instrument).

Jika fusion adalah salah satu style dalam dinamika perkembangan musik jazz yang mengkolaborasikan musik jazz dan rock, maka ketika hip hop / acid jazz menjadi trend popular pada dekade 1990an sehingga memunculkan elektronik musik, hal ini menjadi lebih problematis. Tapi bagi penulis, hal tersebut menjadi petualangan cara mendengarkan musik jazz yang menantang dan menjadi sesuatu yang baru.

Pada tembang berikutnya justru berbalik tidak seperti yang mereka mainkan seperti komposisi pembuka tadi, ‘Surat Undangan’ mengalun dengan lembut mereka mainkan, meskipun di sana-sini muncul letupan-letupan ekspresi tak terduga sehingga mengkemas komposisi ini seolah-olah tampil lebih modern. Kalau mengingat latar belakang pemberian judul komposisi-komposisi dan para musisi yang terlibat di album “Jazzy Sax”, sebagian besar muncul dari beberapa kejadian yang terjadi secara serba kebetulan. Seperti ketika pada suatu saat ketika Dwiki bertemu Arief dengan memakai sepatu mengkilap, hal tersebut dijadikan ide untuk membuat tembang ‘Sepatu Dwiki Mengkilap’, atau ketika dr. Iwang yang membantu bermain perkusi ketika proses rekaman album tersebut mendapat telephon dari seorang pasiennya untuk segera menangani, Arief mendapat ide dengan judul lagunya ‘Smog Lek Sem’ yang maksudnya semoga lekas sembuh. Komposisi-komposisi tersebut juga ditampilkan dalam pertunjukannya.

Komposisi berikut yang ditampilkan adalah ‘Libertango’ dari Astor Piazzolla. Kali ini menampilkan perkusionis anggota simakDialog, Jalu D. Pratidina dan harpais musik klasik terkenal dari Indonesia Maya Hasan. Komposisi ini mereka mainkan dengan memberikan berbagai lapisan tekstur ritmik dan melodi sehingga mengesankan struktur yang komplek. Kebetulan juga ketika lagu ini sedang berlangsung ada seekor tikus yang cukup besar lari keluar dari sarangnya di sekitar panggung ke arah penonton sebelah kanan panggung dan sempat mengagetkan para penonton tersebut. Sayangnya Maya Hasan tidak berani melangkah lebih jauh lagi dengan solo improvisasi misalnya, karena perang dia hanya menambah lapisan melodi saja, termasuk dalam lagu yang diciptakan Arief untuk Maya ‘Song For Maya’. Namun hal ini barangkali dapat dipahami juga karena Maya juga bukan seseorang yang mendalami musik jazz dengan harpanya. Berikutnya adalah sebuah komposisi dari saxophonis Cannonball Adderley ‘Work Song’ dengan menampilam drum cilik yang masih duduk di bangku SD, Demas dan kembali tampil Om Benny Liku, begitu panggilan akrabnya. Yang mengherankan adalah drummer cilik ini cukup kuat sense of swingnya dan bisa menjaga tempo. Dia juga tidak jengah bermain ‘Equinox’ yang dikemas lebih funky dengan bintang tamu Dwiki pada piano. Benar-benar konser 3 generasi atau bahkan 4 generasi. ‘Birdland’-nya Joe Zawinul juga ditampilkan.

Meskipun acara tetap berlanjut, tetapi sebagian penonton sudah merasa lelah menonton acara ini yang memang berdurasi lebih lama dari pada pertunjukan musik jazz pada umumnya sehingga banyak pula yang pulang. Lagu-lagu yang ditampilkan berikutnya adalah lebih cenderung ke R&B dengan menampilkan vokalis Glenn Fredly, Netta dan Joel. Sebagai penutup mereka bermain ‘God Is Here’.

He’s got the sound. Begitulah ungkapan penulis tentang Arief. Seorang penonton pun ada yang bilang the next Embong Rahardjo. Sebenarnya ungkapan ini dapat menjadi perangkap bagi Arief. Sepertinya dia sudah mempunyai gaya permainan tersendiri dalam kumpulan saxophonis di Indonesia yang masih menjadi hal langka ini. Arief cukup fleksibel bermain dan memperlakukan berbagai motif improvisasi antara nada tinggi dan rendah. Ada unsur emosinya dalam sound yang dihasilkannya, sekalipun belum seberapa kuat kalau kita bandingkan dengan para tokoh musik jazz dari negeri asalnya sana. Kita tunggu saja kelanjutan kiprah musikal Arief di masa mendatang.

Kalau kita kembali ke tema acara ini, sebenarnya acara ini hanya membawa wakil dari beberapa generasi musik jazz di Indonesia untuk tampil bersama. Dari yang senior diwakili oleh Benny Likumahua dan ada pun yang paling junior diwakili Demas. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka benar-benar bisa berdialog, berempati satu sama lain? Mengingat konteknya berlainan. Jawabannya barangkali membutuhkan yang lama. Time will tell

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker