Profile

David Murray – Saksofonis yang merangkum Sejarah Jazz

Dia mencoba untuk melihat kembali tradisi musik jazz di masa lalu dengan kacamata modernitas

Di mata dan telinga para pecinta musik jazz di Indonesia, nama David Murray barangkali masih relatif minim dikenal sebagai saxophonis hebat sepanjang lebih dari 30 tahun ini. Orang akan lebih ngeh jika disebut nama David Sanborn atau almarhum Michael Brecker sebagai tokoh saxophonis jazz terkemuka di era paska 1970an.

Namun dibalik nama yang bagi kita mungkin masih “baru” tersebut, musisi kelahiran 19 Februari 1955 ini mempunyai segudang kontribusi yang besar dalam memberikan warna perjalanan musik jazz paska fusion. Lebih jauh lagi, musisi yang selain memainkan tenor saxophone yang juga ahli dalam bermain bass klarinet ini justru bermain lebih kritis lagi. Dia mencoba untuk melihat kembali tradisi musik jazz di masa lalu dengan kacamata modernitas. Gerakan ini sangat kental dirasakan dengan kemunculan istilah neo-bop, neo klasik, neotradisional dan jazz post-modern sejak tahun 1980an.

John Coltrane, saxophonis yang selalu menjadi pusat perhatian banyak saxophonis jazz saat ini, bukanlah satu-satunya sumber inspirasi bagi David Murray. Dalam hal style khas permainannya, dia justru melihat lebih ke belakang lagi dengan semua peninggalan dari saxophonis legendaris seperti Ben Webster, Lester Young, Coleman Hawkins atau pun Paul Gonsalves yang sayang sekali kalau dipandang dengan sebelah mata. Dalam waktu bersamaan, dia juga sangat terinspirasi dari para saxophonis yang berkarakter lebih modern dan terbuka seperti Eric Dolphy, Albert Ayler dan Archie Shepp.

Dengan kata lain, Murray berusaha meleburkan batasan-batasan semu dalam genre musik jazz atau bahkan dengan jenis musik lain sembari menawarkan sebuah pandangan perjalanan musik jazz ke depan. Genre jazz seperti gaya New Orleans, swing, bebop, hardbop, free jazz bahkan soul, R&B dan funk menjadi rancu berada di tangan David Murray. Selain mencari akar-akar jazz sendiri yang barangkali belum tersentuh, musik tradisi Afrika.

Sampai saat ini, sudah lebih dari 130 album diproduksi di bawah namanya. Aktif mulai pertengahan dekade 1970an, dengan banyak melibatkan diri ke dalam lingkungan underground musisi free jazz generasi kedua di New York yang muncul pada masa itu. Ada juga sebagian pihak yang menggambarkan lingkungan tersebut sebagai “loft generation”.  Lingkungan tersebut melahirkan musisi-musisi handal seperti Butch Morris, Arthur Blythe, Olu Dara, George Lewis, Henry Threadgill, Anthony Davis, Steve McCall, Fred Hopkins, Stanley Crouch dan masih banyak lagi.  “Ya, sebuah moment yang sangat menantang dalam karier saya. Ada satu dokumentasi penting berjudul “Wildflowers”, yang berisi para musisi hebat dalam generasi tersebut”, kata David Murray dalam sebuah kesempatan wawancara langsung via telepon bersama WartaJazz belum lama ini. Album yang ditunjuk adalah “Wildflowers: The New York Loft Sessions” (knitting Factory Works, 2000), koleksi 4 CD yang memuat para musisi free jazz “generasi kedua” di tahun 1976.

Memasuki  dekade 1980an, musik Murray lebih terkendali  dan ada sedikit lebih fokus kepada masalah komposisional.  Album-album Murray di masa ini banyak direkam di bawah label Black Saint dan DIW.  Limabelas tahun terakhir ini, Murray lebih banyak tinggal di Perancis dan mengembangkan perjalanan horison musikalnya dengan lebih banyak lagi menyentuh wilayah world music yang menjadi akar-akar budaya Afro Amerika.

Selain itu, perlu dicatat bahwa Murray juga adalah anggota inti dari sebuah kombo saxophone legendaris, World Saxophone Quartet bersama Julius Hemphill, Hamiet Bluiett dan Oliver Lake. Tidak ada lagi ruang musikal yang terbuka untuk berinteraksi atau bertukar ide dengan intens, mencakup berbagai gaya dan warna dalam musik jazz selain di formasi WSQ ini. Kelompok ini aktif dari tahun 1976 sampai sekarang dengan beberapa kali pergantian formasi setelah meninggalnya alto saxophonis flamboyan Julius Hemphill tahun 1995. “Formasi terakhir kami mengajak saxophonis muda berbakat James Carter dan melakukan beberapa konser keliling di Amerika dan Eropa bersama M’Boom, sebuah ensemble perkusi menarik yang dibentuk oleh drummer jazz legendaris Max Roach, baru-baru ini”, ujar David Murray.

Gaya khas style pribadinya sendiri berkesan gelap tetapi terasa sangat gagah, powerful, dalam, berbobot dan inten.  Dinamika improvisasi dan laju nadanya luar biasa. Tidak banyak saxophonis yang bisa melakukannya.  Overblowing, yang terkadang mencapai nada-nada yang tidak pernah dicapai oleh saxophonis tenor lainnya dan tidak terduga sebelumnya. Tidak ketinggalan, akar-akar spritual dan gospel  selalu menyertainya.

Adapun beberapa album pilihannya adalah “Flowers for Albert” (1976), “Ming” (1980), “Special Quartet” (1990), “Now Is Another Time” (2003) atau ketika bersama WSQ “Dances And Ballads” (1987). Sementara album terakhirnya adalah “The Devil Tried To Kill Me” (2009) dengan bintang tamu vokalis Taj Mahal. Album terakhir tersebut dikerjakan bersama The Gwo Ka Masters of Guadeloupe, sebuah formasi yang terinspirasi dari tradisi perkusi dan vokal diaspora Afrika di kawasan Karibia Amerika Tengah.  Di Java Jazz 2010, David Murray hadir dengan pendamping pianis muda berbakat Lafayette Gilchrist serta dua musisi segar dari lingkungan free jazz di Chicago, Jaribu Sahid (bass) dan Hamid Drake (drum). “Lafayette adalah pianis muda berbakat dan cerdas yang gaya permainannya mengingatkan saya kepada Thelonious Monk dan Don Pullen. Saya selalu menyukai para pianis, seperti yang pernah bermain bersama, Dave Burrell dan John Hicks. Mereka semua luar biasa”, kata Murray ketika mengapresiasi para pianis jazz.

“Penampilan di Jakarta dalam rangka AXIS Java Jazz Festival 2010 kali ini bagi saya adalah pertama kali dan sebuah kehormatan bisa menghibur para pecinta jazz di Indonesia. Di lain pihak, saya mengajak drummer luar biasa Hamid Drake untuk memperkaya warna musik saya”, jawaban Murray ketika ditanya kesan akan penampilannya di Indonesia.

Beberapa penghargaan yang pernah diperoleh antara lain Grammy Awards, Guggenheim Fellowship, Bird Awards, Danish Jazz Bar Prize dan Musician of the 80’s oleh Village Voice.

Diposting pertama kali 5 Maret 2010, Diupdate 15 Februari 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker