Opini Jazz

Jazz Akuri Kultur Hip Hop: Dari “Black Radio” Robert Glasper

Profil musik multifaset Robert Glasper terekam jejaknya sejak “Double Booked” (Blue Note, 2009) yang paralel menampilkan sisi trio akustik dan eksperimental. Sesuai judulnya, panggung terbelah tema ganda Robert Glasper Trio vs Robert Glasper Experiment. Garis batasnya tegas betul, kalau jazz punya konsep swing, maka hip hop punya konsep flow. “Afro Blue” yang dipopulerkan John Coltrane jadi demo swing vs flow saat Erykah Badu digaet formasi Robert Glasper Experiment yang datang lagi pada rilis anyar “Black Radio” (Blue Note Records, 2012). Aksi yang bukan tanpa risiko, nomer standar yang terlanjur kokoh atas pendekatan poliritmiknya malah mengalir dengan meter tunggal. Namun, pianis ini memang bermaksud lepas dari label jazz dan merangkul identitasnya yang lebih luas sebagai musisi African-American. Musik hip hop adalah derivat yang paling mudah untuk mengenali eksistensi musikal kaum kulit hitam dalam banyak acuan populer.

 

Subkultur hip hop melintasi banyak persimpangan, seni graffiti, spoken word, kemudian musiknya itu sendiri, mulai dari format acara radio lepas tengah malam quiet storm, rap, hingga dubstep dengan drum ‘n’ bass kental sebagai penghubungnya. Saat Mos Def merepet ngerap pada trek “Black Radio“, kita bagaikan mampir di salah satu kanal FM di Bronx. Nama-nama seperti Lalah Hathaway, Ledisi, dan Bilal adalah jaminan lainnya. Gaya vokal Bilal dalam “Always Shine” tak asing lagi mengingat R&B sering dikopi mentah-mentah oleh penyanyi non-kulit hitam. Penampilan Ledisi juga jadi kesempatan menyimak seni tulen vokal R&B dalam “Gonna Be Alright“, sebuah versi berlirik dari nomer “F.T.B.” album “In My Element” (Blue Note Records, 2007). Untuk lagu itu harusnya tak ada kesulitan berarti untuk menransfer lirik ke atasnya berkat melodi kuat Glasper.

Di ujung album, “Letter to Hermione” dan “Smells Like Teen Spirit” adalah cover sukses untuk masing-masing David Bowie dan Nirvana. Akan tetapi, di trek pertama “Lift Off/Mic Check” kita justru mendapati etalase hidup dari album ini, yakni bahwa musisi-musisi kulit hitam ini memang musikal sejak dari dalam hatinya. Bayangkan saja betapa gabungan sampel-sampel suara mereka saat cek mikrofon jadi bunyi yang ritmik atau bahkan melodius dengan kata-kata berdialek khas. Glasper memang tak asing dengan spoken word. Ia bahkan kerap menyelipkan sampel dari mesin perekam pesan telefon pada album-albumnya belakangan ini.

Bagaimana dengan elemen jazz? Agaknya Glasper memilih menghadirkannya sebagai bayang-bayang yang tak mesti kasat mata. Bagaimanapun memilih one take untuk semua bintang tamunya menjadikan proses produksi berjalan dalam suasana unik dan tak kehilangan unsur kejutan.

***

Sebagai bagian dari wajah Amerika, pemerintahan Obama pun sempat mengadakan seri penampilan spoken word plus musik dan puisi dari Gedung Putih, yang serta-merta ada jazz di dalamnya dengan Esperanza Spalding mencairkan suasana pusat pemerintahan itu. Pada Mei 2009 itu Obama mengungkapkan dalam pembukaannya, “We’re here to celebrate the power of words and music to help us appreciate beauty, but also to understand pain. To inspire us to action, and to spur us on when we start to lose hope.” Ia pun sempat mengutip Louis Armstrong, jazzer kulit hitam yang melegenda, dalam kalimat sederhana, “What we play is life.” Sebesar itukah jazz merefleksikan hidup (baca: masyarakat kulit hitam)? Kultur indigenos ini memang tua dan besar, jazz pun turut beroleh daya hidup dan punya kesempatan lebih luas dengan mengakuri akar rumputnya sendiri.

One Comment

  1. Ini album keren parah. best album 2012.
    vokalnya Kings di ‘move love’ pas bgt sama pianonya glasper.
    Semua tracknya ga ada yang ga enak.
    Chris dave juga mantep bgt mukul drumnya..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker