BALI JAZZ FESTIVAL 2005: HARI KEDUA, THE SHOW MUST GO ON (Bagian Pertama)
Suasana Hard Rock Café (HRC) di Kuta Bali pada hari Sabtu (19/11) sore menjelang malam kemarin terasa masih lengang. Beberapa pengunjung restoran tersebut masih berbincang-bincang santai dengan relasinya sambil menikmati hidangan yang ada di depannya. Namun kalau dilihat di lantai bawah, beberapa kru panggung sudah terlihat sibuk untuk mempersiapkan semua kebutuhan para musisi yang akan tampil. Di luar panggung pun, sahabat-sahabat dari Komunitas Jazz Kemayoran (KJK) dengan
Ensemble d’Etudiantnya juga tengah bersiap diri untuk tampil di
putaran pertama pada hari kedua Bali Jazz Festival 2005.
Tidak lama kemudian, kurang lebih pada pukul 19.00 WITA tampil ke depan tiga pemain muda yang masing-masing langsung memainkan keyboard, akustik bass dan drum. Dengan percaya diri, Robert, Adrian dan Areza
mereka langsung menampilkan komposisi karya Areza yang berjudul
‘Accidentally Love’. Sekilas dari komposisi ballad tersebut memperlihatkan kalau mereka juga tertarik terhadap gaya musik jazz yang modern terutama mengacu pada kelompok trio Keith Jarrett. Tidak lama setelah itu, vokalis Adek Oxa tampil membawakan ‘All Of Me’, ‘Take A Chance Of Love’ dan ‘Honeysuckle Rose’. Di dalam dua komposisi standard terakhir tersebut juga menampilkan “kepala suku” dari KJK yang juga bermain gitar, Beben S.M.
Dalam menampilkan karya klasik dari John Coltrane, ‘Naima’, mereka
mencoba untuk menampilkan pendekatannya seperti karakter formasi John
Coltrane Quartet. Penutupnya dilantunkan koleksi dari Beatles, ‘Here, There
and Everywhere’.
Eye2Eye Jazz Mix, sebuah kelompok fusion yang bermarkas di Kuala Lumpur Malaysia pimpinan bassis Albert Yap tampil setelah Ensemble d’Etudiant mundur dari panggung. Meski penampilan mereka sempat
tertunda karena persoalan teknis, mereka tetap bersemangat untuk menghibur penonton yang sudah mulai memenuhi HRC. Kelompok ini melakukan pemanasan dengan komposisi dari Wayne Shorter ‘Footprint’. Kemudian menyusul lengkingan pemain alto saxophone Eddy Kismilardy yang atraktif dalam ‘Samba Sayang’ ciptaan dari keyboardis kelompok yang sering menampilkan berbagai jenis musik tergantung dengan permintaan tersebut, Johan ‘JP’ Abdullah. Dia sendiri tampil dalam lagu berirama bossa nova dengan berbagai macam suara midi dari keyboardnya. Seorang penonton berkometar bahwa vokalis sekaligus gitaris kelompok ini, Jordan Rivers, sebagai “B.B King-nya Malaysia” setelah mendengarkan ‘You Don’t Know What Love Is’ dengan iringan blues modern. Sebagai penutup mereka menampilkan garapan hentakan fusion latin dengan menampilkan kebolehan masing-masing musisi.
Suasana HRC lebih panas lagi dengan kehadiran sebuah kelompok unik yang
berorientasi kepada pertemuan antara musik tradisional Bali dengan musik barat modern, Kul Kul Band. Sebagian seperangkat gamelan Bali termasuk dengan sesajinya dinaikkan ke atas panggung. Para personilnya adalah
penggebuk drum energik dan powerful yang baru berusia 12 tahun Demas,
Didit (biola), Adit (keyboard), Awan (bass), Kadek Putra (gangsa kantilan & kulkul), I Komang Sumada (kendang & suling), I Wayan Sudiarta (cengceng & gangsa kantilan), I Wayan Sudarsana (kulkul, gansa kantilan & cengceng kopyak). Masing-masing “kubu” menunjukan atributnya. Meskipun pakaian yang mereka kenakan sudah menunjukan perbedaan, namun dalam hal musik ternyata mampu untuk saling mendukung. Sebagian
besar karya yang mereka tampilkan dengan tempo yang cepat dan dinamis. Suara bertalu-talu dari seperangkat instrumen tradisional Bali berimbang dengan pukulan drum dan cabikan bass elektrik. Peran biola dalam kesempatan tersebut juga vital. Di mana barangkali mampu menggantikan rebab. Tiga komposisi berturut-turut ‘Uluwatu’, ‘Welcome To Bali’ dan ‘Janger’ tampil dengan warna yang hampir sama. Hal ini mengingatkan kita kepada Krakatau atau “Bali Agung”-nya Eberhard Schoener. Sebelum turun mereka menampilkan ‘Wina’ dengan gaya fusion era 1980an.
Photo ©Kushindarto/WartaJazz.com |
Salah satu highlight yang ditunggu-tunggu para pecinta jazz adalah
tampilnya saxophonis keturunan India yang sekarang tinggal di New York, Rudresh Mahanthappa. Tampil di BJF 2005 dengan formasi para musisi multinasional, Ronan Guilfoyle yang bermain customed
acoustic bass dari Jepang secara kidal berasal dari Irlandia dan drummer Chander Sardjoe dari Belanda. Meski pada awal permainan mereka sempat terganggu dengan setting drum yang kurang sesuai, namun semangat mereka tetap menyala. ‘Traditional’ membuka penampilan mereka dengan awal tema melodi yang sederhana namun pada perkembangan berikutnya semakin komplek permainannya.
Komposisi kedua, ‘Tenski’, diawali dengan permainan solo bass yang mempunyai karakter suara yang soft dan bulat. Dilanjutkan dengan melodi komposisi tersebut yang terasa lebih abstrak dan cepat. Uniknya, meskipun permainan mereka sudah memasuki tahap yang sulit dilakukan oleh musisi jazz kebanyakan, ada sesuatu yang masih dapat dijejaki akan adanya unsur-unsur yang lebih danceable dan groove yang kuat. Seperti yang ada dalam ‘Groove and Rebellion’. Selain itu, seolah-olah partikel-partikel terkecil dari permainan mereka masih dapat terdengar dengan jelas meski dalam berimprovisasi secara kolektif yang ditunjukannya dalam ‘Installation’. Karakter permainan Rudresh sendiri sekilas mengingatkan kita kepada saxophonis free jazz Anthony Braxton yang hanya meniti phrasing
improvisasi yang pendek-pendek yang seolah-olah terputus-putus.
Duo dynamic Sova yang terdiri dari Edward Andez (bass) dan Lawrence Aswin (flute, keyboards, grove box) tampil berikut menghadirkan aroma nu-jazz, brokenbeat, soul, funk, brazillian yang dapat dibawa ke dalam tekstur suasana clubbing. Sova hadir ditemani oleh trio kelompok vocal Soulmate – vokalis Dira yulianti, Stefanus Cahyanto Adiwibowo dan Fabrianto serta additional player Eddy Syakroni (drum), Glen Dauna
(keyboards) dan Phillipe Ciminato (menggantikan Hendrik, pemain perkusi yang berhalangan hadir). Selain lagu berjudul Ikuti, Sova banyak menghadirkan lagu yang ada di album terbaru mereka, Selayang Jingga. Thetruthisalwaysleftbehind dan Indecisive adalah salah satunya. Medley lagu baru bernuansa brazilian berjudul Foi Balanco dengan Tempo Tantrum menghadirkan penyanyi Jilly Likumahuwa dengan tariannya. Foolish Heart dipilih sebagai lagu penutup penampilan Sova yang sepertinya belum sampai pada kulminasi.
Pamungkas panggung HRC adalah grup pengusung latin jazz bernama
Cherokee. Kelompok yang telah menghasilkan satu buah album ini
semestinya hadir dengan formasi Hari Toledo (bass), Cendy Luntungan (drums), Rio Moreno (keyboards), Kadek Rihardika (acoustic guitar),
Iwan Wiradz (percussions) dan vokalis Tompi. Tapi pada hari-H Rio, Kadek dan Cendy berhalangan hadir. Namun Charokee tetap hadir prima dengan additional musisi Agam Hamzah pada gitar, Imam (keyboard) dan the lost boy drummer Agus Mantoro. Mereka tampil dengan format panggung gaya Cherokee; memainkan beberapa lagu standar seperti On Broadway dan lagu populer yang diaransemen sendiri serta Inner Beauty sebagai lagu penutup. Peran front liner yang dibebankan kepada vokalis Cherokee dapat dilakukan dengan baik oleh Tompi. Ia berhasil mengajak teman-temannya melakukan show dan mengiring attensi penonton ke atas panggung dengan semangat entertainernya. Lagu Come Together, Favour dan aransemen ulang lagu grup Jamrud – 30 menit – menjadi sebuah repertoar spesial khas Cherokee yang ampuh menyerap penonton malam itu. Bravo Charokee yang berhasil menempatkan diri pada penonton HRC sehingga terbukti paling banyak mendapat respon applaus dibanding penampil lainnya di panggung yang sama.
Sementara itu dari panggung utama, di hari kedua pesta pemusik dan penikmat jazz ini ternyata memang semakin meriah. Terlihat dari jumlah penonton yang datang relatif lebih banyak dari hari sebelumnya. Dari sisi penampilan musisi, hari Sabtu 19 November 2005 ini menjadi hari terbanyak international artist yang mentas. Tentu ini merupakan daya tarik tersendiri bagi mereka penikmat musik jazz ataupun mereka yang sekedar hang out datang ke lokasi festival.